Crush
I though it just a crush but then I
realized its more than a crush, because I think I love him.
* * *
Aku ingat hari itu merupakan hari
pertama penerimaan murid baru. Kami memakai baju aneh dengan kunciran rambut
yang sesuai dengan jumlah nama kami. Saat itu aku menguncir rambutku sebanyak
sepuluh kunciran. Kaus kaki panjang sebelah dengan warna yang berbeda juga tas
dari karung goni, khas sekali dengan MOS.
Aku berdiri di barisan ke tiga karena yah, tubuhku yang tidak terlalu tinggi.
Dan saat itu dia membuka apel sebagai ketua osis. Suaranya benar-benar
berwibawa dengan aura yang membuat semua mata tak dapat berpaling darinya. Dari
sana aku tau namanya Muhammad Gio Ramadhan dan dia kelas 11 IPA 1. Sebuah fakta
sederhana yang selalu kuingat.
Kemudian setelah itu kami masuk ke kelas dan kakak osis memberikan informasi
bahwa kami harus meminta tanda tangan dari seluruh anggota osis dan memberikan
surat cinta ke salah satu anggota osis. Mendengar itu aku senang sekaligus
malu. Ah, tapi kan pasti tak akan dibaca. Jadi setelah pulang sekolah aku
langsung membeli kertas berwarna merah muda yang kuhias dengan ornamen manis
khas orang jatuh cinta. Bahkan aku membuat amplop untuk surat cintaku. Belum
puas aku kemudian menyemprotkan minyak wangiku. Tidak, wanginya tidak menyengat
kok malah cenderung manis.
Selesai dan di atasnya aku tulis nama kak Gio lengkap dengan kelasnya. Saat itu
yang aku tau, aku hanya akan menulis.
* * *
Hari berganti, ini merupakan hari
kedua MOS dan kami disibukkan dengan mengejar anggota osis. Menyebalkan memang,
aku bahkan berniat untuk tidak ikutan dan malah kabur ke kantin. Tapi sialnya
temanku malah menarikku.
Tapi aku rasa aku harus bersyukur karena kami bertemu kak Gio. Sasha langsung
meminta tanda tangan kak Gio. Demi apa pun kak Gio sangat baik, dia tersenyum
dan langsung membubukkan tanda tangannya dibuku kami. Dan dia berterima kasih
lalu memberi semangat pada kami. Astaga, kuulangi kak Gio memberi semangat
kepadaku -dan Sasha-. Sasha sudah berjingkrakan tak karuan, sedangkan aku hanya
menatap tak percaya kearah bukuku. Astaga, ini benar-benar terjadi.
* * *
Hari ketiga sekaligus penutupan MOS.
Hari ini ada parade ekskul dan buku kami sudah dikumpulkan. Aku sih tak perduli
dengan tanda tangan itu, selama aku mendapatkan tanda tangan kak Gio semuanya
sudah cukup. Nanti rencananya aku ingin memotong dan memajangnya di dinding
tempat tidurku. Aku tadinya masih tertawa dengan temanku dan memperhatikan
parade dengan senang, apalagi beberapa kali kak Gio tampil.
“Baik, selanjutnya kita bakal bacain surat terbaik dari cewe dan cowo,” kata-kata
kak Rama langsung membuatku melongo. Saat itu yang ada didalam pikiranku adalah
berdoa agar suratku tak menang. Tapi sepertinya doaku tak terkabul karena kak
Rama memanggil namaku. Saat itu aku tak ingin maju tapi temanku langsung
mendorongku sehingga aku maju ke depan.
“Nah, ini dia. Coba perkenalin diri lo dulu,” kata kak Rama.
“Em, saya Kayla Putri dari kelompok Duren,” dan teman-temanku langsung bersorak
heboh.
Kak Rama mengangguk, “Nah jadi Kayla ini ngasih surat ke Gio. Woy! Sini lo!”
Aku hampir tertawa saat melihat kak Rama yang dengan anarkisnya menarik kak Gio
yang tampaknya sudah pasrah. Kak Gio membawa kantung kertas dan surat milikku.
Astaga aku benar-benar malu. Kak Gio memberikan keduanya padaku dan aku
bergumam terima kasih, aku bahkan tak yakin suaraku akan terdengar. Rasanya
suaraku terdengar seperti cicitan tikus.
“Nah pasti lo semua penasaran kan sama isi suratnya? Jadi kita persilakan Kayla
buat membaca suratnya,” aku benar-benar ingin diriku tertelan bumi saja saat
itu.
“Serius? Boleh kalau gak dibaca?” tanyaku berharap dan kak Rama langsung
tersenyum dan menggeleng. “Gak boleh.”
“Yah Kayla malu nih, kasih dukungan dong! Baca! Baca! Baca!” kata kak Rama.
Ugh, benar deh aku ingin menutup mulut kak Rama. Dan bisa-bisanya kak Gio
bersikap tenang begitu.
“Nah baca oke? Nih micnya,” setelah itu kak Rama kabur, kenapa gak dari tadi ya?
“Um, hei kak apa kabar?” kataku dan itu memang isi suratnya. Kak Gio mengangguk
dan bergumam baik.
“Aku senang jika mendengar kabar kakak baik. Ingat saat kakak membubuhkan tanda
tangan dibukuku dan tersenyum sambil memberikan semangat? Saat itu aku
benar-benar bahagia.
Tahu tidak saat itu jantungku berdetak seperti bermaraton ria. Aku kira aku
bisa mati saat itu juga, tapi sepertinya aku tak rela karena yah, aku tak mau
mati sebelum kakak tahu perasaanku.
Terlalu cepat ya? Aku juga berfikir begitu, tapi bukankah tak ada yang pernah
tau kapan cinta itu datang? Jadi aku memilih menulis surat ini, yah walau pun
tak semua perasaanku tercurahkan disini. Satu hal yang harus kakak tahu, aku
menyukai kakak sejak pertama kakak berdiri di podium itu. Kakak yang tengah
berpidato sangat keren, tapi tidak kakak selalu terlihat keren di mataku.
Aku jatuh cinta pada kakak semudah aku membalikkan telapak tangan. Aku tak
meminta kakak membalasnya, aku hanya ingin kakak tau. Dan jangan paksa aku
untuk melupakan rasa ini karena aku tak bisa.” aku menunduk, tak berani menatap
mata kak Gio. Rasanya benar-benar malu. Penonton di belakangku berteriak dan
memekik senang. Mereka tak tau seberapa malunya aku sih.
Kemudian kak Gio meraih tanganku, membuatku mendongak. “Makasih ya buat
perasaan kamu ke saya, saya benar-benar menghargainya.”
Bagai terhipnotis aku hanya mengangguk dan langsung berbalik kembali ke
barisan. Speechless banget deh aku. Dan teman-temanku sibuk
meledekku, benar-benar teman yang baik.
Selanjutnya terasa menyenangkan dan gugup. Saat berpapasan dengannya aku hanya
menunduk tapi saat dia tak melihat aku diam-diam menatapnya. Sialnya sepertinya
kak Gio terlalu peka, karena tiap kali aku mencuri pandang ke arahnya dia
selalu memergokiku dan tersenyum penuh arti. Bahkan saat dia sedang memakai
sepatu di depan masjid sekolah kami dan aku berada di lantai tiga dia masih
dapat saja memergokiku.
Selalu seperti itu selama dua tahun. Dia naik ke kelas dua belas dan menjadi
semakin sibuk. Sedangkan aku duduk dikelas sebelas dan tengah sibuk mengurus
ekskulku. Aku masih sering melihatnya dan dia masih dapat memergokiku.
Aku kira seiring berjalannya waktu perasaanku akan memudar tapi anehnya malah
semakin kuat. Awalnya aku kira ini hanya sekedar perasaan kagum tapi makin lama
aku malah semakin menyukainya.
Aku selalu mengecek twitter juga blognya. Ada satu yang membuat dadaku sesak.
Di blog milik kak Gio ada sebuah puisi yang benar-benar indah dan aku yakin itu
untuk gadis yang disukainya. Jadi aku memilih untuk move on ketimbang memendam
rada yang menyakiti diriku sendiri.
“Lo kenapa Kay? Kok lesu gitu?” tanya Sasha ya selama dua tahun dan aku tetap
satu kelas dengannya.
“Gak apa-apa kok,” jawabku sambil menyeruput susu strawberi kesukaanku.
“Oh iya minggu depan udah pensi perpisahan kelas dua belas aja ya? Terus lo mau
diem aja Kay?” pertanyaan Sasha membuatku mengerut tak mengerti.
“Emangnya harus ngapain?” tanyaku.
Sasha bersedekap, kesal dengan tingkahku. “Lo mau diem aja gitu?”
“Terus gue harus ngapain? Loncat-loncat sambil bilang suka gitu?” kataku sambil
menatapnya.
Sasha terbahak dan menggeleng, “Ya gak gitu juga, maksud gue lo gak mau nyatain
perasaan lo gitu?”
Aku menggeleng dan tersenyum, “Udah pernah.”
Sasha langsung terdiam sambil mengangguk-angguk seakan tengah mengamati suatu
kasus besar. “Baru sekali kan? Coba lagi aja, lo juga kan tau kayanya dia peka
banget sama lo.”
Aku terdiam, tidak juga sih. Maksudku, kak Gio memang peka jika ada yang
melihat ke arahnya. Bukan hanya saat aku yang mencuri pandang kok, yah
menurutku sih begitu.
“Gak lah dia kan emang peka ke semua orang,” kataku kalem, terlalu takut
berharap sebenarnya.
“Yakin? Gak nyesel?” aku sendiri tak tau. Entah lah benar-benar tak mengerti.
Aku tak mau menyesal nantinya, tapi aku tak mau mendengar kata penolakan. Ugh,
kenapa harus serumit ini sih? Yang pasti aku tak mungkin menyatakan perasaanku
untuk yang kedua kali, yah walau yang pertama itu karena terpaksa, tapi tetap
saja. Ah ya, aku rasa lebih baik kubiarkan saja rasa ini, toh kak Gio juga
sudah memiliki gadis yang ia suka. Satu fakta yang menohok dadaku.
* * *
Pensi perpisahan kelas dua belas
dimulai dengan upacara pembukaan dari kepala sekolah tentang betapa bangganya
beliau terhadap kelas dua belas tahun ini. Ya, tentu saja karena tahun ini
sekolahku masih dapat bertahan dengan kelulusan 100%. Dan yang kudengar 80%
mendapatkan PTN, benar-benar membanggakan. Hari ini kakak kelas dua belas
terlihat cantik juga tampan, menurutku.
Yang lelaki memakai pakaian resmi seperti jas sedangkan yang perempuan memakai
kebaya dengan make up sederhana. Benar-benar pemandangan terakhir, mungkin.
Tahun depan aku kelas dua belas dan mungkin ini hari terakhirku melihat wajah
kak Gio. Dan lupakan soal move on itu, karena nyatanya itu terlalu sulit
kulakukan. Move on itu sulit selama kau belum menemukan pengganti atau selama
orang itu masih dalam jangkauan matamu. Benar tidak? Menurutku sih benar,
sangat malah.
Kak Gio kini tengah maju dan berpidato tentang betapa ia bangga bersekolah
disini dan betapa ia bahagia karena angkatannya lulus 100%.
“Dan saya rasa ini hari terakhir saya bisa seperti ini. Hari ini terakhir saya
berdiri disini dengan membawa nama sekolah kita. Selama tiga tahun ini tentu
banyak yang kita lewati. Ada masa dimana kita senang karena gebetan kita peka,
bahagia karena akhirnya diterima atau pun galau karena diputusin. Tapi kita
lewatin itu semua dan pada akhirnya kita dapetin harapan kita, yaitu mendapatkan
PTN dengan jurusan yang kita inginkan. Dan terakhir selamat untuk kita semua!”
kak Gio mengakhirinya sambil membungkuk dan tersenyum. Sial, senyum itu bahkan
masih membuat dadaku berdegup begini, benar-benar tidak normal.
Pengecut, benar-benar pengecut kau ini Kayla. Masa karena kau takut tak bisa
move on malah tak mengucapkan selamat. Setidaknya, ucapkan kata selamat. Ya,
aku harus melakukannya. Tapi mana kak Gio? Terakhir kulihat ia ada diantara
kerumunan kelas dua belas dan sekarang dia menghilang. Salah satu kehebatan kak
Gio itu menghilang secara tiba-tiba dan tak disadari. Aku sendiri bingung
bagaimana dia melakukannya.
Aku mendongak, dia ada disana. Berdiri dari lantai tiga dan menatap lurus ke
arahku. Demi apa pun, waktu seolah berhenti. Dan disana hanya kak Gio yang
kulihat. Aku bahkan tak mendengar hingar-bingar musik dan lainnya. Aku dapat
melihat senyum penuh arti yang masih tak mengerti sampai saat ini itu dia
tunjukkan. Tangannya bergerak seakan menyuruhku naik, anehnya tubuhku langsung
bergerak begitu saja dan saat sadar aku sudah ada disisinya.
“Apa kabar Kay?” tanyanya dan aku bahkan tak berani menatap matanya,
“Baik kak,” benar-benar suara cicitan tikus. Aku sendiri tak heran jika ia
terkekeh, mana Kayla yang sering berteriak dari lantai tiga untuk memanggil
temannya atau pun Kayla yang meneriaki temannya di kantin.
“Kayanya baru kemaren deh saya dapet surat dari kamu,” duh kenapa yang dibahas
malah itu sih?
“Hm, iya dan baru kemaren ngeliat kakak ngucapin selamat datang ke kami,”
kataku. Obrolan yang terlalu kaku untuk pembicaraan tentang masa lalu.
“Saya inget lho, pas kamu minta tanda tangan saya, eh temen kamu ya yang
ngomong? Kamunya sih diem aja,” dan aku tertawa pelan karenanya.
“Saya kira kamu emang pendiem, tapi ternyata enggak. Kamu petakilannya pake
banget sih,” aku langsung menoleh. Kok kak Gio tau sih, kayanya kalau aku lagi
petakilan cuma di kelas atau pas olahraga atau kalau isengku kumat. Tapi aku
yakin deh kak Gio gak ada disana pas aku lagi petakilan, atau aku yang gak
sadar ya?
“Pasti bingung ya? Mungkin kamu gak sadar, tapi saya selalu merhatiin kamu lho.
Bukannya mau sombong sih, cuma saya rasa kalau saya gak bilang sekarang saya
bakal nyesel. Inget gak saat kamu daftar ulang?” tanya kak Gio dan aku ngangguk.
“Saat itu kamu lari-larian karena temen kamu ngejar kamu. Kamu inget pernah
nabrak orang kan?” aku berfikir sejenak dan mengangguk.
Kak Gio tersenyum kemudian mengalihkan pandangannya ke arah koridor di lantai
satu, “Itu saya lho. Kamu nabrak saya dan kamu yang tertawa, itu bikin saya apa
ya, hm kagum? Dan saya lebih gak nyangka lagi saat kamu ngasih surat cinta ke
saya.”
Aku melongo, benar-benar kaget. Aku gak sadar dan bahkan gak inger kalau itu
kak Gio karena menghindari amukan Prada. Ya ampun, terus tadi apa? Kak Gio
kagum sama aku? Masa sih?
“Waktu itu saya mikir kalau crush saya ngasih surat cinta dan itu nervous
banget. Terus saya kira ini cuma crush, cuma rasa kagum yang akan hilang
nantinya. Tapi saya salah, tiap saya liat kamu saya malah penasaran. Penasaran
sama apa yang bikin kamu ketawa, apa yang bikin kamu seneng atau pun apa yang
bikin kamu sedih. Dan saya selalu tau dimana keberadaan kamu atau pun saat kamu
natap saya. Atau saya yang terlalu percaya diri ya?” kak Gio tertawa pelan,
menertawai ucapannya sendiri. Dan aku ikut tertawa.
“Saya kira karena kakak yang terlalu peka. Kakak benar kok, saya emang
ngeliatin kakak. Maaf, kalau bikin kakak gak nyaman.” kataku menunduk tapi dia
malah tersenyum.
“Bukan gitu, saya malah senang. Karena ternyata bukan cuma saya yang sering
curi pandang ke kamu. Saya selalu pura-pura lewat di samping kelas kamu atau
pun keluar saat kamu ada jam olahraga. Saya pengen ngeliat kamu, tapi kayanya
mulai besok udah susah ya. Saya udah gak sekolah disini,” kata kak Gio.
Aku hanya tersenyum, benar-benar bahagia. “Saya suka sama kamu, mungkin lebih.
Karena itu kamu mau nunggu saya?”
Aku menatapnya tak percaya, ini benar-benar terjadi?
“Nunggu?” tanyaku.
Kak Gio mengangguk, “Iya. Saya cuma gak mau nyakitin kamu nantinya. Jadi saya
mau kamu menunggu sampai saya mampu menjadi pria yang baik untuk kamu.”
Tak ada perjanjian jika kami pacaran atau apa pun itu. Tapi aku tau apa yang
harus aku lakukan. Menunggu. Ya, menunggu seperti yang kak Gio katakan. Dan aku
pun ingin menjadi perempuan yang baik untuknya. Aku tak merasa ini sulit karen
aku tau perasaanku terbalas dan aku tau kak Gio ingin menjagaku dari segala
macam fitnah.
Sekarang yang harus kupikirkan adalah bagaimana mendapatkan PTN yang sama
dengannya?
0 komentar:
Post a Comment